Citra Perempuan dalam Musik Dangdut

Dalam sejumlah tulisan mengenai dangdut, genre musik ini disebut-sebut mencerminkan situasi kehidupan mayoritas masyarakat. Andrew Weintraub misalnya, menulis bahwa teks lagu dangdut berkenaan dengan realitas sehari-hari orang biasa (2012: 93). Bersamaan dengan ditampilkannya realitas dalam dangdut, jenis musik ini juga berupaya untuk membentuk gambaran tentang sesuatu yang ideal. Salah satunya berkaitan dengan citra perempuan.

Di Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain, ada seperangkat standar yang dilekatkan kepada perempuan. Gender yang satu ini kerap diharapkan menjalankan peran-peran seperti mengedepankan penampilan untuk menarik lawan jenis, bertanggung jawab atas urusan domestik atau bukan pencari nafkah utama, bersikap pasif, serta tidak ekspresif secara seksual. Lirik-lirik dangdut yang mengafirmasi peran gender tradisional semacam ini dibuat tidak hanya untuk menarik perhatian khalayak yang mengidentifikasi pengalamannya dengan lirik tersebut, tetapi juga demi melanggengkan citra perempuan yang sudah ada.

Sehubungan dengan perempuan sebagai gender yang diharapkan selalu mengedepankan penampilan, ada beberapa lagu yang menegaskan peran demikian. Nasida Ria, kelompok musik kasidah yang dibentuk pada dekade 1970-an, menyampaikan dalam lagu “Wajah Ayu Untuk Siapa” bahwa perempuan merawat fisiknya setiap hari dan hal ini diperuntukkan bagi laki-laki (lirik “untuk suami yang beriman bertakwa”).

Kecantikan yang dipelihara perempuan dan berelasi dengan laki-laki juga terlihat dalam lagu “Lagi Syantik” yang dibawakan Siti Badriah. Ia menyebutkan bahwa keadaan perempuan yang sedang cantik semata hanya untuk kekasihnya.

Selanjutnya terkait dengan perempuan sebagai bukan pencari nafkah utama dalam rumah tangga, ada lagu “Bang Jono” yang dipopulerkan oleh Zaskia Gotik yang menggambarkan peran perempuan tersebut. Berikut petikan lirik lagunya. ‘Eee.. Bang Jono kenapa kau tak pulang-pulang?
Pamitnya pergi cari uang tapi kini malah menghilang
Eee.. Bang Jono ternyata cuma keluyuran
Sana sini cari hiburan lupa rumah lupa kerjaan
Kau bilang padaku baik-baik sayang, Abang pasti cepat pulang
Kau janjikan aku sebongkah berlian, sesuap nasi pun jarang’

Terlihat dalam lirik ini bahwa laki-laki (Bang Jono) menjadi pencari nafkah, sementara perempuan menunggu pasangannya membawa hasil kerja di rumah. Lebih lanjut, dalam lirik “Bang Jono” disebutkan bahwa si perempuan memiliki anak dan membutuhkan susu untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Ini menunjukkan bahwa peran perempuan identik dengan ibu yang sepatutnya mengurusi hal-hal domestik termasuk mengasuh anak. Pesan yang terkandung dalam “Bang Jono” setali tiga uang dengan pesan yang terlihat dari lagu “Bang Toyib” yang lebih dulu dipopulerkan Ade Irma.

Sebagai konsekuensi dari pembagian peran gender tradisional ini, muncul stereotipe bahwa perempuan sering kali mengejar harta laki-laki. Stereotipe ini hadir salah satunya dalam lagu “Colak-Colek” yang dipopulerkan grup musik Tarantula pada tahun 1970-an. Di dalam lagu itu, terdapat lirik “tak ada uang, tak ada sayang” yang diinterpretasikan Weintraub (2012) sebagai potret fenomena komodifikasi seks dan cinta dalam kehidupan sosial kaum muda pada dekade tersebut. Lirik yang mengandung pesan sejenis juga ditemukan dalam lagu “Abang Sayang” dari Lina Lady Geboy: ‘Abang, Abangku sayang
Kalau pulang coba bawa uang
Abang gak bawa uang, mending jangan pulang’

Lirik “Abang Sayang” ini juga memiliki pesan yang beririsan dengan lirik “Bang Jono” dan “Bang Toyib” yang dijabarkan sebelumnya. Baik karena pilihan sendiri maupun tuntutan masyarakat terhadap perempuan, peran domestik yang diemban perempuan menjadikan mereka pasif dalam hal mencari nafkah dan dependen secara finansial terhadap laki-laki. Karena itulah, kondisi perempuan yang demikian membuat mereka dipotret sebagai pihak yang materialistis.

Stereotipe muncul karena adanya realitas yang digeneralisasi. Sehubungan dengan hal ini, Weintraub (2012) mengutip pendapat Dr. Ayid Suyitno yang menulis “Musik Dangdut dan Eksesnya” bahwa lirik dangdut menunjukkan keterusterangan dalam menceritakan realitas, salah satunya adalah rupiah menjadi pemicu wanita ingkar janji”.

Hal yang menarik lainnya dari potret penyanyi dangdut perempuan adalah kontradiksi yang terlihat dari sejumlah lirik lagu yang mereka bawakan. Pada saat mereka menyanyikan lirik lagu yang menggambarkan perempuan berkutat dengan urusan domestik dan mengandalkan laki-laki untuk mencari nafkah, mereka sendiri merupakan pihak yang melawan anggapan itu. Sebagian penyanyi dangdut perempuan adalah tulang punggung keluarga yang mau tidak mau meninggalkan anak mereka di rumah saat bekerja (Wallach, 2017).

Kendati demikian, ketika perempuan terjun ke dunia kerja sebagaimana laki-laki, pengalaman yang ditemuinya tidak serta merta mengopi kaum Adam. Begitu lekatnya peran perempuan sebagai penanggung jawab urusan domestik atau rumah tangga, pilihan-pilihan tindakan yang diambilnya dalam karier tidak bisa terpisah dari hal ini. Elvy Sukaesih misalnya, sempat melejit namanya sebagai penyanyi dangdut tahun 1980-an. Hal ini mendatangkan pertanyaan apakah ia tidak ingin menapaki tangga karier yang lebih tinggi seperti menjadi produser sebagaimana Raja Dangdut, Rhoma Irama. Ia menjawab pertanyaan tersebut,
‘Saya perempuan. Langkahnya pendek. Rhoma bisa mencipta lagu, main musik, illustrator musik filem, pemain filem, sekarang jadi produser. Kalau saya terlalu forsir di urusan karir, bisa-bisa rumah tangga saya berantakan!’ (Hoetabarat, 1980: 50 dalam Weintraub, 2012: 143)

Pemikiran bahwa perempuan seharusnya menjadi lebih mengutamakan urusan rumah tangga merupakan hal yang telah diyakini selama bergenerasi-generasi. Bahkan pada era Orde Baru, pengukuhan peran perempuan seperti ini terlihat dalam Panca Dharma Wanita yang menyebutkan gender ini sebagai “pendamping” laki-laki, pembawa keturunan dan pendidik anak-anak, pengelola rumah tangga, pencari nafkah, dan baru akhirnya sebagai anggota masyarakat (Suryakusuma, 2012: 115). Walaupun disebut-sebut sebagai pencari nafkah, perempuan tetap tidak menjadi pencari nafkah utama, tetapi pencari nafkah tambahan yang perannya tetap di bawah laki-laki yang dianggap sebagai kepala keluarga sesuai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Sejalan dengan pemahaman mengenai perempuan yang dimunculkan pada era Orde Baru, dalam “Emansipasi Wanita”, Rhoma Irama mempertegas pemisahan peran perempuan dan laki-laki secara tradisional. Meskipun mengakui bahwa perempuan dapat terlibat dalam pembangunan, Rhoma tetap menyebut perempuan adalah ibu yang tidak semestinya mengambil peranan laki-laki (ayah). Selanjutnya, ia mengaitkan kerusakan moral anak-anak dengan peran perempuan di luar rumah tangga, suatu hal yang tidak terlihat dalam representasi laki-laki yang bekerja dalam kebanyakan lagu.

Peran perempuan sebagai pencari nafkah tambahan tak pelak membuat mereka memiliki beban ganda sehingga perjalanan kariernya kerap kali tidak semulus laki-laki. Terlebih lagi dalam dunia hiburan, perempuan tidak jarang dituntut untuk menghabiskan banyak waktu, bahkan bekerja hingga larut malam atau dini hari. Hal ini berimbas pada pandangan terhadap mereka dari masyarakat, yang sebagian masih mempercayai bahwa perempuan yang keluar malam bukanlah perempuan baik-baik. Karena itu, kehidupan biduan sering dilekatkan dengan kegiatan prostitusi atau hal-hal yang dianggap melanggar aturan agama lainnya.

Sikap pasif perempuan lainnya juga diharapkan terlihat dalam konteks seksualitas. Keperawanan atau kesucian perempuan sebelum menikah menjadi hal yang diagungkan di Indonesia, baik berlandaskan nilai agama maupun adat (Bennett, 2005). Melalui budaya populer semacam dangdut, idealisasi perempuan perawan sebelum menikah diteruskan, contohnya dalam lagu “Jagalah Kehormatanmu”. Dalam lagu ini, Nasida Ria menyampaikan nasihat kepada perempuan untuk menjaga kehormatannya—yang diukur dari perawan atau tidaknya dia—dan menggambarkan betapa malu dan sedihnya perempuan yang telah kehilangan kehormatan tersebut.

Meskipun kepasifan perempuan dalam hal seksualitas secara umum masih dipandang sebagai kebenaran, dunia dangdut menjadi arena tempat wacana ini diinterpretasi ulang oleh berbagai pihak. Seiring dengan lekatnya citra dangdut dengan seksualitas, sejumlah penyanyi dangdut mencoba menyampaikan pandangan mereka tentang seksualitas perempuan yang tidak melulu pasif. Alih-alih menunjukkan kepasifan secara seksual, mereka justru mempertontonkannya—baik sebagai ekspresi seksual personal ataupun komoditas dalam rangka membangun karier mereka.

Referensi
Bennett, Linda R. (2005). Women, Islam and Modernity: Single women, sexuality and reproductive health in contemporary Indonesia. Oxfordshire: RoutledgeCurzon.
Suryakusuma, Julia. (2012). Agama, Seks dan Kekuasaan: Kumpulan Tulisan 1979-2012. Depok: Komunitas Bambu.
Wallach, Jeremy. (2017). Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan dan Keberagaman Aliran Lagu (Tini, transl.). Depok: Komunitas Bambu.
Weintraub, Andrew N. (2012). Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (A.B. Prasetyo, transl.). Jakarta: KPG.