Berbagai macam busana yang ditampilkan dalam pertunjukan dangdut mengisyaratkan bahwa musik ini terus bergerak, termasuk soal representasi penyanyi di dalamnya. Ketika penyanyi mengenakan pakaian dengan warna mencolok dan berbahan murah, Wallach (2017) menangkap adanya kesan kelas pekerja dan “memalukan”. Ini menyebabkan sebagian orang menganggap bahwa dangdut itu norak dan konsumsi rakyat—yang berkonotasi dengan masyarakat kelas menengah ke bawah (Weintraub, 2012). Akan tetapi, pada saat bersamaan, Wallach juga melihat adanya upaya menunjukkan dangdut berasosiasi dengan kemewahan lewat penampilan sejumlah busana ala Barat.
Upaya menaikkan kelas dangdut lewat penampilan ini juga terkait campur tangan pihak industri media dan desainer-desainer papan atas. Dalam wawancara dengan Weintraub tahun 2006, Presiden TransTV mengatakan bahwa penampilan Inul di stasiun televisinya sengaja diarahkan menjadi lebih elegan mengingat segmen penonton yang mereka sasar ialah kelas A-B. Penampilan elegan Inul juga dibantu oleh perancang busana ternama semisal Aji Notonegoro dan Robby Tumewu. Peran desainer dalam penampilan para penyanyi dangdut semakin dipertegas dalam berbagai kontes dangdut di televisi. Salah satu contohnya terlihat dalam sebuah berita di Okezone.com yang menyatakan desainer dan aktor Ivan Gunawan menghadiahi Delima, peserta KDI 2018, sebuah gaun senilai 40 juta rupiah (Pangesti, 2018).
Masih terkait kontes-kontes dangdut, aspek kostum menjadi salah satu faktor yang sangat disoroti oleh para juri. Hal ini terlihat, misalnya ketika Azizah, peserta KDI 2015 dari Maumere tampil menyanyikan lagu “Maling” (https://www.youtube.com/watch?v=KKcjf_aqnxs). Erie Suzan yang menjadi juri saat itu menyatakan bahwa terdapat ketidakcocokan antara lagu berunsur rock yang dibawakan Azizah dengan kostumnya yang dinilai terlalu cantik dan girly. Sementara itu, Zaskia Gotik yang juga menjadi juri lebih mengomentari soal tatanan rambut Azizah yang dianggap terlalu biasa. Selain itu, signifikansi busana dalam pertunjukkan dangdut semakin terlihat ketika produser Bintang Pantura menyediakan sesi khusus memperagakan busana dari sejumlah desainer (https://www.youtube.com/watch?v=zwVxrKGTSt4).
Bukti lain mengenai pentingnya aspek penampilan peserta dalam kontes dangdut terlihat pada kasus Juli 2018 lalu, ketika Iis Dahlia berkomentar terhadap Waode Sofia (https://www.youtube.com/watch?v=GJDtPJfwQHs), peserta audisi KDI dari Bau Bau, Sulawesi Tenggara. Iis—didukung oleh juri lain, Benigno dan Trie Utami—menilai Sofia tidak layak mengikuti audisi karena hanya mengenakan jaket dan celana jeans serta tidak berdandan. Sesaat kemudian, Sofia diperbolehkan mengikuti audisi ulang setelah dirias dan mengenakan gaun di hadapan para juri. Sementara dari ajang Indonesian Dangdut Awards, terlihat pula signifikansi penampilan dalam pertunjukkan dangdut dari dibuatnya kategori kostum dangdut terbaik. Tahun 2017 lalu, Zaskia Gotik berhasil menjadi pemenang pada kategori tersebut.
Kesan elegan atau glamor yang ditonjolkan sejumlah penyanyi dangdut perempuan lewat kostumnya menjadi salah satu pembeda di antara komunitas penyanyi dangdut. Dalam pembahasan mengenai Inul Daratista pada awal tahun 2000-an, yang kerap mengenakan busana ketat berwarna mencolok dan menjual seksualitas dalam aksi-aksi panggungnya, Weintraub (2012) mengontraskan penampilan Inul tersebut dengan penyanyi-penyanyi dangdut perempuan tahun 1990-an. Cici Paramida, Ikke Nurjanah, dan Itje Tresnawati disebutnya sebagai contoh-contoh penyanyi yang menunjukkan kesan kalem, santun, dan glamor.
Kembali ke konteks kontes dangdut, kostum-kostum elegan dan glamor yang tampak di Bintang Pantura dapat dilihat sebagai upaya mendongkrak citra dangdut Pantura. Pasalnya, sebelumnya terdapat stereotip bahwa dangdut pantura adalah musik kampungan dan seronok dari segi pakaian (Mas’udi, 2016). Walaupun demikian, ketika beralih ke aksi panggung, unsur-unsur yang terdapat di dangdut Pantura seperti menjual sensualitas tetap dapat ditemukan dalam pertunjukan di Bintang Pantura demi menjaga “kekhasan” musik tersebut. Dalam balutan gaun panjang nan glamor pun, para penampil—baik peserta maupun juri—tetap bergoyang dengan sensual meski tidak seperti yang terlihat di panggung-panggung dangdut biasanya.