Merunut Asal Usul Inferioritas Dangdut

Melihat sejarahnya, dangdut mulai muncul dan dikenal oleh masyarakat Indonesia di era pemerintahan Orde Baru. Kala itu, target pembangunan dan modernisasi selalu dikaitkan dengan investasi asing, segala hal yang berasal dari Barat (Inggris dan Amerika Serikat), dan juga praktik-praktik konsumerisme ala Barat. Target pembangunan dan modernisasi tersebut memunculkan anggapan terbelakangnya kelas bawah di Indonesia hanya karena terbatasnya akses mereka pada produk-produk budaya Barat. Hal serupa juga terjadi pada pola produksi dan konsumsi musik populer di Indonesia. Tidak seperti pop dan rock di Indonesia yang sebagian besar dipengaruhi musik populer Barat hingga dianggap sebagai salah satu cerminan modernitas, dangdut yang sangat dipengaruhi musik India, Arab, dan Melayu dianggap sebagai musik yang terbelakang.

Sampai saat ini belum jelas siapa yang pertama kali menggunakan atau memperkenalkan kata “dangdut”, namun menurut Remy Sylado (dalam Pioquinto 1998), kata dangdut pertama kali dimunculkan oleh kalangan musisi rock di Bandung pada tahun 1970-an. Sebagai sebuah istilah yang bersifat merendahkan, dangdut merupakan onomatopea dari ritme kendang yang berbunyi “dang” dan “dut” ketika dimainkan. Baru pada tahun 1972, juga menurut Sylado, istilah dangdut dipopulerkan pada masyarakat umum oleh majalah Aktuil yang juga menggunakan kata dangdut di dalam artikel mereka sebagai sebuah istilah yang berimplikasi merendahkan.

Untuk merunut lebih dalam mengenai asal usul inferioritas yang melekat pada dangdut, Ceres Pioquinto (1998) telah menjabarkan konteks sosial yang memunculkan prasangka dan bias pada musik dangdut. Pioquinto menjelaskan bahwa hierarki yang terbentuk di antara pop dan rock Indonesia dengan dangdut sama seperti hierarki antara seni adiluhung dan seni rakyat yang telah terbentuk sejak lama di Indonesia. Popularitas dangdut yang semakin meningkat sejak awal kemunculannya di awal tahun 1970-an membuat para musisi pop dan rock Indonesia yang mayoritas berasal dari kelas menengah dan elit mulai merasa tersaingi. Untuk mempertahankan eksistensi dan kepentingannya, para musisi pop dan rock Indonesia saat itu mulai memunculkan dan menyebarkan berbagai wacana yang berdasar pada faktor estetis, ekonomi, dan ideologis untuk membentuk batasan-batasan sekaligus merendahkan dangdut. Selain itu, ketiga faktor tersebut juga digunakan oleh para musisi dan penggemar pop dan rock Indonesia untuk kembali menegaskan dan melanggengkan posisi mereka di ranah industri musik populer Indonesia.

Menambahkan penelusuran Pioquinto, Andrew Weintraub (2006) melihat bahwa dangdut bukanlah milik kelas sosial tertentu maupun sebuah kategori atau atribut yang merujuk pada kelas sosial tertentu. Weintraub menambahkan, dangdut merupakan salah satu praktik budaya yang secara aktif berperan dalam membentuk struktur dan makna mengenai “rakyat” di dalam konteks masyarakat Indonesia hingga dangdut seringkali disebut sebagai musik rakyat. Adapun demikian, proses pembentukan makna dan struktur yang terkait dengan dangdut sebagai sebuah bentuk dan gaya bermusik tidak terlepas dari sirkulasi ideologi dan representasi yang dilakukan oleh media (televisi, radio, dan media cetak) dan institusi Negara. Hal ini dapat terlihat dari berubahnya anggapan masyarakat mengenai dangdut seiring dengan perubahan pandangan berbagai media di Indonesia dan juga Pemerintah terhadap dangdut.

Setelah mendapatkan tempat di berbagai media di Indonesia dan dianggap sebagai musik nasional oleh Negara, dangdut dapat dikatakan telah naik kasta dan sejajar dengan musik-musik populer lain di Indonesia, khususnya pop dan rock Indonesia. Dangdut yang sebelumnya merupakan musik yang mayoritas berkembang di masyarakat kelas menengah ke bawah, kini malih rupa menjadi musik mapan dan mendapat tempat tersendiri di industri musik Indonesia. Dangdut bahkan menjadi tren baru yang menentukan arah blantika musik Indonesia hingga sekarang. Seiring waktu, dangdut telah mendapat citra dan anggapan yang beragam dari masyarakat Indonesia. Eksistensi dangdut dalam industri musik populer Indonesia membuat dangdut selalu bersinggungan dengan berbagai pihak berikut kepentingannya hingga akhirnya memunculkan berbagai fungsi dan makna dangdut.

Referensi
Pioquinto, C. (1998). A Musical Hierarchy Recorded: Dangdut and the Rise of a Popular Music. Tokyo: International Christian University Publications, Asian Cultural Studies
Weintraub, A. (2006). “Dangdut Soul: Who are ‘the people’ in Indonesian Popular Music?” Asian Journal of Communication. 16:4, 411-431