Melihat Sawer dari Berbagai Sudut Pandang

Tak dapat dipungkiri, hal yang telah melekat dengan gambaran tentang dangdut ialah aktivitas menyawer. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyawer diartikan sebagai kegiatan meminta uang kepada penonton atau penonton memberi uang kepada pemain (pada pertunjukan keliling, seperti kuda kepang, topeng). Sementara dalam penelitian tentang pertunjukan dangdut di Jakarta dan Indramayu, Bader (2011) mendeskripsikan menyawer sebagai pertemuan antara penyanyi dan penonton di panggung yang melibatkan kegiatan memberi dan menerima uang baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam situasi tertentu, tidak ada transaksi uang di atas panggung selama pertunjukan. Namun, pemain menerima bayaran tambahan setelah pertunjukan selesai.

Dari aspek historisitasnya, kegiatan menyawer dapat dikaitkan dengan tradisi lokal yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Di Jawa Barat misalnya, masyarakat di sana mengenal lagu “Goyang Dombret” yang disebut Weintraub (2012) sebagai dangdut etnik. Tahun 2000, popularitas lagu ini meluas hingga level nasional setelah dibawakan oleh Uut Permatasari dan Inul Daratista. “Goyang Dombret” biasanya dibawakan pada pesta-pesta tiap malam musim kemarau di desa-desa nelayan di pantai utara Jawa Barat, termasuk Cilamaya (Karawang), Mayangan (Subang), dan Indramayu. Penyanyi perempuan yang membawakan “Goyang Dombret” disebut ronggeng dan lazimnya menari dengan menekankan goyang pinggul. Para ronggeng juga kerap mengundang penonton-penonton laki-laki untuk menari bersama mereka. Dalam pertunjukan mereka ini, penonton laki-laki biasanya memberikan uang kepada ronggeng sebagai bagian dari praktik kultural yang disebut “sawer”.

Sama-sama menarik kesejarahan dari Jawa Barat, Aryandari & MS mengaitkan kegiatan menyawer dengan tradisi Bajidor—perayaan panen di Karawang yang melibatkan pertunjukan musik dan tari. Penampil perempuan menyimbolkan Dewi Sri yang dipercaya sebagai pemberi kehidupan. Ketika pentas, penampil menggoyangkan pinggulnya. Aktivitas menyawer juga dipotret Hefner (1987) ketika mengamati pertunjukan tayuban di Jawa Timur. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, unsur-unsur tayuban juga diserap oleh sebagian penyanyi dangdut perempuan. Selain teknik tari yang digunakan Inul Daratista, unsur tayuban lain yang diserap dalam pertunjukan dangdut terkait aksi tledhek (penampil tayuban perempuan) yang serupa dengan aksi panggung penyanyi dangdut perempuan.

Pada sebagian konteks, aksi menyawer dilakukan secara sukarela oleh penonton kepada penyanyi dangdut. Namun, tidak jarang kegiatan ini dilakukan setelah penyanyi memicu penontonnya untuk memberi uang. Dari beberapa contoh yang telah disebutkan, dapat terlihat bahwa menyawer sudah menjadi semacam “aturan” yang diikuti ketika seseorang menonton pertunjukan dangdut, baik secara sukarela maupun secara terpaksa.

Ada banyak anggapan bahwa semakin seksi penampilan si penyanyi, semakin besar kemungkinan uang yang diperolehnya dari saweran. Hal ini semacam mengafirmasi pandangan sebagian orang bahwa penampilan penyanyi dangdut perempuan terkait dengan “male gaze”, di mana di dalamnya terdapat kesenangan dan bentuk kenikmatan berupa pandangan atau tatapan laki-laki terhadap sebuah objek. Namun, hal ini tidak melulu berlaku dalam semua pertunjukan dangdut. Meskipun si penyanyi mengenakan busana tertutup dan tidak menampilkan goyangan sensual, kegiatan menyawer tetap dapat ditemukan.

Sehubungan dengan hal ini, Bader & Richter (2014) menyampaikan bahwa kegiatan menyawer tidak selalu berkaitan dengan transaksi seksual, tetapi merupakan bentuk tradisi di kebudayaan Jawa dan/atau Sunda. Ia juga berpendapat, aksi menyawer bisa didasari motif menghormati si pembuat hajatan yang mengundang penyanyi dangdut. Motif menghormati si pembuat hajatan ini bisa semakin tinggi ketika si penyawer memiliki hubungan keluarga atau relasi dekat dengan pembuat hajatan.

Seperti halnya Bader & Richter, Wallach (2017) menjabarkan alternatif pandangan mengenai motif para penyawer. Ia menjelaskan, memberikan uang (saweran) kepada penyanyi dangdut merupakan “tanda penghargaan” bukan hanya karena pertunjukan mereka bagus, tetapi juga karena pertunjukan mereka efektif. Yang dimaksud dengan efektif di sini dapat dipahami sebagai kemeriahan dan respons positif yang ditunjukkan penonton ketika pembuat hajatan menyuguhkan penampilan penyanyi dangdut tersebut.

Sisi lain yang bisa disoroti dari kegiatan menyawer adalah isu kekuasaan perempuan dan laki-laki. Di satu sisi, pemberian uang kepada penyanyi dangdut oleh penonton pria memperlihatkan kendali diri dan kekuasaan pria. Kendali diri di sini berkaitan dengan keinginan berkontak fisik di atas panggung yang kemudian dapat dialihkan dengan memberikan uang—walau demikian, pada kenyataannya tidak serta merta pengalihan kendali diri melalui saweran ini meniadakan kontak fisik si penonton kepada penyanyi (lihat penjabaran sebelumnya mengenai interaksi penonton dan penyanyi). Sehubungan dengan kekuasaan pria, penyanyi perempuan yang disawer dipandang sebagian orang lebih inferior dan semata-mata sebagai objek dan tidak memiliki agensi.

Namun demikian, anggapan bahwa kegiatan menyawer terkait erat dengan kekuasaan laki-laki semata dapat tergeser oleh adanya fakta bahwa perempuan pun turut menyawer. Catatan Bader (2011) dan banyak contoh di berbagai pertunjukan dangdut juga menunjukkan bahwa perempuan dari berbagai macam latar usia berpartisipasi aktif dalam pertunjukan dangdut sebagai penyawer. Di lain sisi, ada yang melihat bahwa kegiatan menyawer menyiratkan keberdayaan perempuan dalam memanfaatkan hal-hal yang mereka miliki (fisik, kemampuan beraksi di atas panggung). Ketika penyanyi yang menari erotis menunjukkan seksualitasnya dan mendapat uang dari situ, sebagian orang menganggap penyanyi tersebut menggenggam kebebasan dan kekuasaan yang cukup signifikan.

Referensi
Aryandari, Citra & Gilang MS. (2017). Goyang Karawang: Exploration of Woman’s Body Between Rites and Fiesta. Mudra Journal of Art and Culture Vol. 32 No. 3, p. 283-291.
Bader, Sandra. (2011). Dancing Bodies on Stage. Indonesia and the Malay World Vol. 39 No. 115, p. 333-355.
Bader, Sandra & Max M. Richter. (2014). Dangdut Beyond the Sex: Creating Intercorporeal Space through Nyawer Encounters in West Java, Indonesia. Ethnomusicology Forum Vol. 23, No. 2, p. 163–183.
Hefner, Robert W. (1987). The Politics of Popular Art: Tayuban Dance and Culture Change in East Java. Indonesia No. 43, p. 75-94.
Wallach, Jeremy. (2017). Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan dan Keberagaman Aliran Lagu (Tini, transl.). Depok: Komunitas Bambu.
Weintraub, Andrew N. (2012). Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (A.B. Prasetyo, transl.). Jakarta: KPG.