Goyang dan Joget

Dangdut dan goyang atau tari—baik goyang penyanyi maupun penonton—sering kali dipandang selayaknya dua sisi mata uang. Dalam lagu “Goyang Inul” bahkan disebutkan, “dangdut tak goyang bagai sayur tanpa garam”. Selain itu, komentar penyanyi dangdut Camelia Malik mengenai dangdut dan goyangan penyanyi serta penonton juga meneguhkan pandangan ini. Dalam wawancara dengan Andrew Weintraub, ia mengatakan, “Saya lihat musik dangdut ini unik. Artinya, dangdut itu hiburan yang bukan hanya kita dengarkan, tetapi penontonnya atau penikmatnya juga bisa masuk ke musiknya, bisa langsung berjoget. Dan itu otomatis. Kalau musiknya bunyi, pasti orang berjoget dengan sendirinya, tidak perlu dipaksa. Kalau jenis musik lain, jangankan musik yang berat seperti klasik, jazz, atau apa, musik pop yang bagus saja orang masih musti dipanggil dulu untuk berjoget. Kalau dangdut, tidak.” (Camelia Malik, 2005 dalam Weintraub, 2012: 22)

Penjelasan mengenai goyangan dan tari dalam pertunjukan dangd)ut dapat diawali dengan pengertian dari sejumlah literatur. Pertama, pengertian goyangan dari sudut pandang penonton. Terkait hal ini, Weintraub menjabarkan, “Arti ‘goyang’ tidak lebih dari ‘bergerak’, tapi dalam dangdut goyang menngacu pada gerak ayunan pinggul, pinggang, dan pantat. ‘Goyang’ bukan hanya gerak tubuh, melainkan reaksi ‘alami’ dan ‘tidak disadari’ terhadap irama khas gendang dangdut.” (2012: 23)

Ia juga mengutip sebuah artikel di koran yang menyatakan bahwa dalam goyang dangdut, tidak ada aturan langkah kaki, gerak tangan, maupun posisi tubuh. Sementara terkait gerakan yang ‘tidak disadari’, Weintraub merujuk pada lirik lagu “Dangdut” ciptaan Rhoma Irama: “karena asyiknya aku, hingga tak kusadari pinggul bergoyang-goyang, rasa ingin berdendang”.

Argumen Weintraub yang menyebutkan adanya ketidaksadaran ketika bergoyang juga ditemukan dalam pendapat Phillip Yampolsky (1991: 1 dalam Wallach, 2017: 195) ketika menyoroti penonton dangdut: “Memang, tarian mereka rupanya bertujuan untuk membawa mereka ke dalam sebuah keadaan di mana mereka tidak mengindahkan sekitar, terbebas dari kesadaran diri dan kekangan”. Ketidaksadaran penonton yang diutarakan Yampolsky sejalan dengan pendapat Camelia Malik di atas ketika penyanyi dangdut ini menyebutkan kata “otomatis”.

Gerakan “otomatis” yang dilakukan penonton beramai-ramai saat menikmati pertunjukan dangdut dapat pula dikaitkan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang kolektif. Sekewael (2016) menjelaskan bahwa dangdut membuat orang berjoget secara bersama-sama yang sangat mencerminkan budaya komunal masyarakat Indonesia. Karena adanya dorongan untuk berjoget bersama antar penonton dangdut yang sama-sama asing, Sekewael memandang bahwa musik ini bisa merangkul beragam kalangan orang, tidak eksklusif untuk masyarakat kelas menengah ke bawah saja seperti yang sering kali dilabelkan pada dangdut.

Pemahaman “goyang” dalam dangdut beralih ke sudut pandang penyanyi ketika Wallach menyebut kata ini dalam menggambarkan bagaimana penyanyi perempuan melenggok di atas panggung. Ia menjelaskan, goyang melibatkan gerakan perlahan, memutar, dan mengombak berpusat di pinggul yang dapat menaik-turunkan badan atau tetap berada di satu tempat. Selanjutnya ia berpendapat, goyang penyanyi perempuan berperan penting dalam menciptakan sensualitas pertunjukan dangdut langsung; suatu hal yang tidak disoroti dari penampilan penyanyi dangdut laki-laki.

Goyang dari sudut pandang penyanyi didefinisikan lebih jauh oleh Cucu Cahyati ketika diwawancarai majalah D&R tahun 1996 (dalam Weintraub, 2012). Ia mengemukakan, bergoyang (bagi penyanyi) pun harus ada aturannya sehingga orang dapat mengidentifikasi goyangan khasnya. Selain itu menurut penyanyi yang pernah menjuarai lomba jaipong semasa sekolah dasar ini, goyangan tidak boleh sembarangan dan bermaksud mengundang nafsu penonton saja.

Terkait dengan aturan dan intensi dalam bergoyang, Camelia Malik sependapat dengan Cucu Cahyati. Penyanyi yang sejak akhir dekade 1970-an memasukkan unsur jaipong modern dalam goyangannya ini mengatakan, “…kalau jaipongan, ada aturannya, ada pakemnya, ada galeongnya, ada pundak, ada pinggul, jadi nggak mungkin saya berpikir hanya memperlihatkan keseksiannya. Itu tarian yang dipelajari, bukan sekadar goyang-goyang” (2005 dalam Weintraub, 2012: 136).

Goyangan penyanyi dangdut perempuan yang melibatkan teknik-teknik menari juga terlihat dalam penampilan Inul Daratista. Dalam konteks goyangan Inul, gerakan cepat pinggul, bentuk kasar goyang ngebor, adalah lumrah dalam tayuban—tari yang populer di Jawa Timur dan Jawa Tengah dan melibatkan aktivitas menggoda dari penari perempuannya. Deskripsi tentang gerakan-gerakan yang digunakan dalam bagian ngremo dari tarian tayuban, dapat dengan mudah diterapkan pada Inul: sikap badan gagah, lengan berayun, dan gebrakan kaki.

Selain Camelia dan Inul, Dewi Perssik pun pernah melibatkan teknik tarian tertentu ketika bergoyang di atas panggung. Tahun 2016, dalam sebuah artikel yang dimuat di Tabloid Bintang, penyanyi dangdut ini disebut-sebut menarik perhatian Fabio Dita, penari profesional yang pernah terlibat dalam pementasan Shakira dan Marc Anthony. Ketertarikan Fabio Dita terhadap Dewi Perssik tidak terlepas dari kualitas vokal dan aksi panggung Dewi yang atraktif. Berikut petikan artikel tersebut.

“Fabio Dita menggandeng Dewi Perssik untuk membawakan lagu Saldut (Salsa Dangdut) (https://www.youtube.com/watch?v=YOW6zPC9zD4), yang diciptakan sendiri oleh Fabio Dita dan rekannya, Alex Perez. Liriknya campuran bahasa Indonesia, Inggris, dan Latin... ‘Sepintas, penampilannya seperti Shakira,’ kata Fabio Dita, saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, baru-baru ini. ‘Dewi Perssik punya banyak talenta. Dia bisa menyanyi dan menari dengan bagus. Dan yang paling penting dia punya attitude,’ Fabio Dita menambahkan. Video klip sudah rampung dibuat dengan konsep dance, mengkombinasikan salsa,  belly dance, dan tentunya goyang dangdut…” (Kurniawan, 2016)

Dari pemberitaan ini, dapat kita pahami bahwa sebagian penyanyi dangdut perempuan memang mempelajari tarian-tarian tertentu secara khusus dan di kemudian hari, menjadi modal mereka dalam tampil di atas panggung. Kemampuan mereka menguasai sejumlah tarian tak pelak menciptakan suatu kekhasan dalam diri mereka sebagaimana diutarakan Cucu Cahyati.

Sehubungan dengan kekhasan penampilan penyanyi dangdut perempuan, ada sejumlah goyangan yang identik dengan penyanyi-penyanyi tertentu. Inul memopulerkan goyang ngebor, Dewi Perssik membawakan goyang gergaji, Annisa bahar terkenal dengan goyang patah-patahnya, dan Uut naik daun bersamaan dengan goyang ngecornya. Goyangan menjadi salah satu cara membuat personal branding atau ciri khas bagi setiap penyanyi yang disebutkan tadi. Inul misalnya, menciptakan citra perempuan yang kuat, tegas, dan seksual melalui goyang ngebornya di samping kostum-kostum seksi yang ia kenakan.

Kembali ke pembahasan perpaduan goyang bebas dan sejumlah teknik tari dalam penampilan penyanyi dangdut perempuan, peluang untuk memadukan kedua hal ini terbuka lebar di dunia dangdut. Selain tari daerah seperti jaipong dan salsa serta belly dance yang dilibatkan dalam video klip “Saldut” Dewi Perssik dan Fabio, ada banyak ragam tari dangdut yang dipresentasikan di media-media massa dan panggung-panggung dangdut oleh para penyanyi lokal. Hal ini senada dengan penjabaran mengenai kostum-kostum yang melekat pada tubuh mereka.

Contoh lain yang menunjukkan keragaman goyangan dalam pertunjukan dangdut yang menyerap pengaruh luar negeri ialah goyang ala India yang dipopulerkan Ellya Khadam. Ada pula pengaruh gaya hip-hop, R&B, rock, dan freestyle dari Amerika Serikat dan Korea yang diadopsi oleh penyanyi-penyanyi lain, sebut saja Siti Badriah (“Lagi Syantik”, “Aku Kudu Kuat”), Via Vallen (“Sayang dalam Indonesian Choice Awards 5.0. NET.), Sandrina (“Goyang Dua Jari”), dan Denada (“Kucing Garong”).
Referensi
Kurniawan, Ari. (2016). Dewi Perssik Digaet Mantan Penari Latar Shakira dan Marc Anthony. Tabloidbintang.com. Diakses dari https://www.tabloidbintang.com/film-tv-musik/kabar/read/34088/dewi-perssik-digaet-mantan-penari-latar-shakira-dan-marc-anthony
Sekewael, Roose. (2016). Indonesian Popular Music and Identity Expression: Issues of Class, Islam, and Gender. MA Thesis. Leiden University.
Wallach, Jeremy. (2017). Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan dan Keberagaman Aliran Lagu (Tini, transl.). Depok: Komunitas Bambu.
Weintraub, Andrew N. (2012). Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (A.B. Prasetyo, transl.). Jakarta: KPG.